leaf and snow

09/07/2019

Peran Para Wanita dalam Revolusi Imam Mahdi af.


Ketika kita meninjau berbagai riwayat yang mengupas peranan para wanita pada pra dan pasca kemunculan Imam Mahdi af., kita akan menemukan beberapa poin penting yang layak diperhatikan. Meskipun disebutkan bahwa kebanyakan dari pengikut Dajal adalah kaum Yahudi dan para wanita,[1]

tetapi di luar itu, terdapat banyak wanita beriman, suci dan senantiasa teguh menjaga akidah mereka.
Sebagian wanita di jaman tersebut memiliki jiwa besar, pemberani, dan selalu kokoh dalam melangkah. Kemana pun pergi, mereka mengobarkan peperangan melawan propaganda busuk Dajal serta menerangkan kebenaran sejati kepada siapa pun.
Beberapa riwayat menjelaskan bahwa ketika Imam Mahdi af. muncul, ada empat ratus wanita yang bergabung dengan beliau. Kebanyakan mereka bekerja dalam bidang kesehatan dan pengobatan. Tetapi, masih ditemukan banyak pertentangan dalam beberapa riwayat, mengenai jumlah para wanita yang kelak menyertai kebangkitan Imam Mahdi af. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa terdapat tiga belas wanita yang akan menyertai Imam Mahdi af. Barangkali, mereka adalah pengikut khusus beliau. Sedangkan beberapa riwayat yang lain, menjelaskan bahwa akan ada tujuh ribu delapan ratus orang wanita yang menyertai Imam Mahdi af. Mereka adalah para wanita yang membantu beliau dalam berbagai keadaan.
Ibnu Hammad dalam kitab Fitan menuturkan bahwa jumlah lelaki yang mukmin pada saat Dajal muncul sebanyak dua belas ribu. Sedangkan jumlah wanita yang mukminah mencapai tujuh ribu tujuh ratus, atau delapan ratusan.[2]

Rasulullah Saw. bersabda, “Isa as. putra Maryam sa. akan turun ke bumi di tengah-tengah delapan ratus lelaki dan empat ratus perempuan, mereka adalah para penghuni bumi yang terbaik dan termasuk orang-orang terdahulu yang paling saleh.”[3]

Imam Baqir as. bersabda, “Demi Allah, akan datang tiga ratus orang. Di antara mereka, terdapat lima puluh orang wanita.”[4]

Mufadhal bin Umar menuturkan bahwa “Imam Shadiq as. pernah bersabda, ‘Akan ada tiga belas wanita yang menyertai Imam Mahdi.’ Ia bertanya, ‘Apa yang mereka lakukan dan apa peranannya?’ Beliau menjawab, ‘Mereka akan merawat orang-orang yang terluka dan merawat orang-orang yang sakit, sebagaimana mereka bersama Rasulullah Saw. pada dahulu kala.’ Ia kembali berkata, ‘Sebutkanlah nama tiga belas wanita itu!’ Beliau menyebutkan, ‘Qanwa binti Rasyid, Ummu Aiman, Hababah Walbiyah, Sumayyah ibu Ammar Yasir, Zubaidah, Ummu Khalid Ahmasiyah, Ummu Sa’id Hanafiyah, Shiyanah Masyithah, dan Ummu Khalid Jahniyah.’”[5]

Dalam kitab Montakhabul Bashair disebutkan dua orang wanita yang bernama Wutairah dan Ahbasyiyah; keduanya termasuk para pengikut Imam Mahdi af.[6]
Sebagian riwayat yang lain, hanya menerangkan keberadaan para wanita di bawah kepemimpinan Imam Mahdi af. saja; tanpa menyebutkan jumlah mereka.

Biografi Singkat Para Wanita Mulia
Dalam riwayat Mufadhal bin Umar telah disebutkan dengan jelas bahwa jumlah para wanita yang menjadi pengikut Imam Mahdi af. adalah tiga belas orang. Tetapi di antara ketiga belas orang itu, hanya sembilan orang saja yang disebutkan nama dan keterangannya. Karena Imam Shadiq as. telah menyebutkan nama-nama sebagian dari mereka, hal ini membuat kita tertarik untuk mengkaji biografinya. Dengan demikian, kita akan menemukan jawaban tentang mengapa Imam menekankan keberadaan para wanita tersebut.
Setiap orang dari mereka, memiliki keistimewaan masing-masing. Tetapi, mayoritas mereka menunjukkan kelayakan dirinya dalam berjihad melawan musuh-musuh Allah.

Sebagian dari mereka, seperti Shiyanah, adalah ibu dari beberapa syahid, dan dia pun meninggalkan dunia dengan ke syahidan. Satu lagi di antara mereka, seperti Sumayah, adalah orang yang membela mati-matian agama, hingga ia menerima siksaan paling kejam yang menutup akhir hayatnya. Tokoh lainnya seperti Ummu Khalid, merelakan karunia kesehatan dan keselamatan dirinya, yang ia tebus dengan cacat fisik, demi menjaga Islam.
Sosok lain seperti Zubaidah, tidak silau oleh gemerlap harta benda duniawi. Semua itu, tidak menghalanginya untuk berpegang teguh pada Islam. Bahkan sebaliknya, ia menggunakan seluruh harta bendanya di jalan Allah. Ia menginfakkan hartanya membantu penyelenggaraan ibadah haji, yang merupakan rukun dan syiar penting agama. Beberapa wanita mulai yang lain, merawat para pemimpin umat Islam dan mendidik para putra-putri harapan dengan sebaik-baiknya. Mereka juga memiliki sisi spiritual yang sangat agung, sehingga sering dibicarakan banyak orang. Sebagian lagi, merupakan keluarga syuhada yang sempat menggendong, bahkan berbicara dengan mereka menjelang kesyahidannya.
Ya, mereka adalah para wanita penanggung duka yang telah menunjukkan dirinya, mampu untuk menjalankan tugas berat pemerintahan  Islam.

1. Shiyanah Masyithah

Dalam kitab Khasais Fathimiyah disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Imam Mahdi af., ada tiga belas wanita yang dihidupkan kembali untuk mengobati orang-orang yang terluka. Salah satu di antara mereka adalah Shiyanah. Ia adalah istri Hazqil dan penata rias putri Fir’aun. Suami Hazqil adalah anak pamannya Fir’aun dan penjaga harta bendanya. Menurut pernyataannya, Hazqil adalah orang yang beriman di antara keluarga Fir’aun dan telah mengimani Nabi pada jamannya, yaitu Nabi Musa as.[7]
Rasulullah Saw. bersabda, “Pada malam Mi’raj, dalam perjalanan agung dari Mekah menuju Masjidul Aqsha, tiba-tiba aku mencium bau wangi yang sama sekali belum aku rasakan sebelumnya. Aku bertanya kepada Jibril mengenai aroma wangi ini. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah! Istri Hazqil mengimani Musa as. dan ia menyembunyikan keimanannya. Pekerjaannya adalah penata rias putri Fir’aun. Pada suatu hari, ketika ia tengah merias putri Fir’aun, secara tak sengaja sisir terjatuh dari tangannya. Seketika ia berkata, ‘Bismillah.’ Putri Fir’aun berkata, ‘Apakah engkau sedang memuji ayahku?’ Ia menjawab, ‘Tidak. Aku tengah memuji Dzat yang telah menciptakan ayahmu dan juga membinasakannya.’
“Putri Fir’aun bergegas pergi menuju ayahnya seraya berkata, ‘Seorang perempuan yang bekerja di rumah sebagai penata rias telah beriman kepada Musa.’ Fir’aun memerintahkan dia untuk datang ke hadapannya lalu bertanya, ‘Apakah engkau tidak mengakui keberadaanku sebagai tuhan?’ Shiyanah berkata, ‘Sama sekali tidak! Aku tidak akan melepaskan keimanan terhadap Tuhanku yang hakiki dan aku tidak akan menyembahmu!’ Fir’aun memerintahkan bawahannya untuk menyalakan api dan memanaskan tungku besar. Ketika tungku tersebut memerah, ia memerintahkan bawahannya untuk memasukkan anak-anak perempuan itu ke dalam tungku yang panas di hadapan kedua mata ibu mereka.
Ketika mereka hendak merebut bayi yang tengah menyusui di rangkulan Shiyanah, hampir saja ia mengucapkan berlepas diri dari agama Musa as. Tetapi, dengan izin Allah, bayi tersebut berbicara, ‘Bersabarlah wahai ibu! Sesungguhnya engkau berada dalam kebenaran.’ Tak lama kemudian, mereka memasukkan wanita dan anaknya itu ke dalam tungku, lalu abunya ditebarkan di atas tanah ini. Sampai Hari Kiamat, bau harum ini akan selalu tercium dari tanah ini.’[8]

Inilah sosok salah seorang wanita yang akan dibangkitkan di akhir jaman, ia menjalankan tugas-tugasnya sebagai pengikut setia Imam Mahdi af.

2. Ummu Aiman

Namanya adalah Barkah. Ia adalah budak wanita milik Rasulullah Saw. yang diwarisi dari ayahnya; Abdullah. Pekerjaannya adalah merawat Rasulullah Saw.[9]

Rasulullah Saw. selalu memanggilnya sebagai ibu. Beliau bersabda, “Ia adalah keluargaku yang tersisa.” Ia memiliki seorang anak dari suami pertamanya, yakni Ubad Khazraji, yang bernama Aiman. Aiman merupakan salah seorang muhajir dan pejuang yang telah gugur di medan perang Hunain.
Ketika Ummu Aiman menempuh perjalanan dari Mekah ke Madinah, ia kehausan. Tiba-tiba turun sebuah tempat air dari langit, lalu ia meminumnya. Sejak itu, ia tidak merasakan haus lagi.[10]

Pada saat Rasulullah Saw. meninggal dunia, ia sangat terpukul. Ketika ia ditanya mengapa menangis, ia menjawab, “Sungguh demi Allah. Aku tahu bahwa ia akan meninggal dunia. Tapi aku sedih, karena wahyu terputus.”[11]

Fathimah Zahra as. telah menjadikan Ummu Aiman sebagai saksi mengenai perkara kepemilikan tanah Fadak. Dan Akhirnya ia meninggal dunia di jaman kekhalifahan Utsman.

3. Zubaidah

Ia adalah istri Harun Ar-Rasyid, dan ia pemeluk Syiah. Ketika Harun mengetahui kepercayaan istrinya, ia bersumpah untuk mencerainya. Zubaidah senantiasa melakukan berbagai perbuatan baik dan terpuji. Ketika suatu hari, air di Mekah langka dan harga perkantungnya mencapai satu dinar emas.

Ia membagikan air minum kepada para jemaah Haji dan juga memberikannya kepada penduduk Mekah. Dengan menggali gunung serta membuat saluran air, ia mengalirkan air dari luar haram menuju ke dalam haram, yang berjarak sekitar sepuluh milZubaidah memiliki seratus budak wanita yang seluruhnya hafal al-Qur’an. Semuanya, bertugas membaca satu persepuluh Al-Qur’an. Suara bacaan al-Qur’an yang terdengar dari rumahnya, bagaikan suara kumpulan lebah.[12]

4. Sumayyah ibu Ammar Yasir

Ia adalah orang ke tujuh yang memeluk Islam. Karena itulah, ia harus menanggung siksaan terburuk. Pada saat Rasulullah Saw. melewati suatu tempat, di sana Ammar, ayah dan ibunya disiksa di bawah terik matahari di padang sahara Mekah yang sangat panas dan membakar, beliau bersabda, “Wahai keluarga Yasir! Bersabarlah … ketahuilah bahwa yang dijanjikan untuk kalian adalah surga.”
Sumayyah meninggal dunia di tangan pembunuh keji, Abu Jahal, dan menjadi wanita pertama Islam yang gugur sebagai syahid. [13]

5. Ummu Khalid Jahniyah

Ketika gubernur Iraq, Yusuf bin Umar, membunuh Zaid bin Ali di kota Kufah, ia juga memotong tangan Ummu Khalid, karena menjadi pengikut Syiah dan mendukung perjuangan Zaid.
Abu Bashir berkata, “Waktu itu aku berada di dekat Imam Shadiq as., lalu Ummu Khalid datang dengan keadaan tangan terpotong. Imam bersabda, ‘Wahai Abu Bashir! Apakah engkau ingin mendengarkan perkataan Ummu Khalid?’ Aku menjawab, ‘Ya, aku akan senang mendengarkannya.’ Ummu Khalid menghampiri Imam dan mengucapkan beberapa perkataan. Aku menyaksikannya sebagai orang yang berbicara dengan fasih, dan sopan santun.Lalu Imam membicarakan permasalahan wilayah dan baraah terhadap musuh, dengannya.[14]
6. Hababah Walbiyah

Syaikh Thusi menyebutkan bahwa Wababah Walbiyah termasuk dari para sahabat Imam Hasan, Imam Husain, Imam Sajad dan Imam Baqir as. Sebagian yang lain berpendapat bahwa ia adalah sahabat Imam Kedelapan, yakni sampai Imam Ridha as. Disebutkan pula bahwa Imam Ridha as. bersedia mengkafaninya dengan pakaian beliau sendiri. Ketika ia meninggal dunia, umurnya lebih dari 240 tahun. Ia pernah kembali menjadi muda sebanyak dua kali. Pertama dengan mukjizat Imam Sajad as., dan yang kedua dengan mukjizat Imam Ridha as. Delapan Imam Maksum as. memberikan tanda dengan cincin mereka pada batu yang selalu ia bawa.[15]

Hababah Walbiyah berkata, “… Aku berkata kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as., ‘Semoga Allah merahmatimu. Katakanlah kepadaku apa dalil kepemimpinan (imamah)..?’ Imam as menjawab, ‘Ambilkan batu kerikil itu!’ Aku pun mengambilkannya untuk beliau. Imam memberikan tanda pada batu kerikil itu. Ketika beliau melakukan hal tersebut, beliau berkata kepadaku, ‘Wahai Hababah, setiap orang yang mengaku sebagai imam dan mampu melakukan apa yang telah aku lakukan, maka ia adalah imam yang wajib diikuti. Imam adalah orang yang mengetahui apa pun yang diinginkan.’
“Aku melanjutkan perjuangan hingga Imam Ali as akhirnya meninggal dunia. Aku mendatangi Imam Hasan as. yang pada waktu itu menempati posisi Imam Ali as. dan orang-orang di sekitarnya sibuk menanyakan berbagai macam permasalahan. Ketika melihatku, beliau bersabda, ‘Wahai Hababah Walbiyah!’ Aku pun menyahut, ‘Ya, wahai tuanku.’ Beliau bersabda, ‘Berikan kepadaku apa yang engkau bawa!’ Aku memberikan batu kecil tersebut kepada beliau. Lalu beliau melakukan hal yang sama terhadap batu tersebut, sehingga suatu tanda yang ada pada cincinya membekas pada batu tersebut.
“Kemudian aku mendatangi Imam Husain as. yang waktu itu tengah berada di Masjid Rasulullah Saw. Ia memanggilku dan mengucapkan selamat datang kepadaku, lalu berkata, ‘Dalil yang engkau inginkan ada padaku. Benarkah engkau menginginkan tanda kepemimpinanku?’ Aku menjawab, ‘Ya. Aku aku mengharapkannya.’ Beliau berkata, ‘Berikan kepadaku apa yang engkau bawa.’ Aku memberikan batu kecil yang aku bawa, lalu beliau memberikan tanda pada batu itu dengan cincinnya.
“Setelah Imam Husain as, aku mendatangi Imam Sajjad as. Waktu itu aku tua sekali dan umurku telah mencapai seratus tiga belas tahun. Beliau sibuk melakukan rukuk dan sujud, serta tidak perhatian denganku. Ketika itu, aku hampir putus asa untuk mendapatkan tanda kepemimpinan beliau. Tak lama kemudian, ia menunjukku dengan jari telunjuknya. Dengan isyarat tangan tersebut, aku kembali muda. Aku bertanya, ‘Wahai pemimpinku, seberapa lama dunia ini telah menghabiskan umurnya dan tinggal berapa lama lagi usianya?’ Beliau menjawab, ‘Mengenai masa lalu, ya. Sedangkan mengenai masa depan, tidak.’ Yakni, kami hanya mengetahui masa lalu, dan apa yang akan datang adalah hal yang ghaib, selain Allah tidak ada yang mengetahuinya dan tidak ada benarnya untuk kami katakan.
“Kemudian beliau bersabda, ‘Berikan apa yang engkau bawa.’ Aku memberikan batu kecil itu kepadanya, lalu beliau melakukan hal yang sama dilakukan para Imam sebelumnya. Setelah beberapa lama, aku bertemu dengan Imam Baqir as., lalu beliau pun memberikan tanda pada batu kecil itu. Kemudian aku bertemu dengan Imam Shadiq as. dan beliau pun melakukan hal yang sama. Begitu juga yang dilakukan Imam Musa as., ketika aku menemuinya. Seetelah itu aku bertemu dengan Imam Ridha as. dan beliau juga melakukan sebagaimana para Imam sebelumnya.” Setelah itu, Hababah hanya hidup selama sembilan bulan.[16]

7. Qanwa binti Rasyid

Meski pribadi wanita ini tidak dibicarakan dalam berbagai kitab sejarah; baik dari kalangan Syiah maupun Ahli Sunnah–dengan  kata lain, biografi wanita ini muhmal [17]
namun dengan melihat ketabahan ketika ayahnya ditawan dan dibunuh oleh ibnu Ziyad, kita dapat memahami betapa teguhnya keyakinan wanita ini. Ia memiliki kecintaan yang sangat besar terhadap Islam dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.
Abu Hayyan Bajali berkata, “Aku pernah bertanya kepada Qanwa binti Rasyid, ‘Hadis atau riwayat apakah yang telah engkau dengar dari ayahmu?’ Ia menjawab, ‘Ayahku menukil ucapan Imam Ali as., ‘Wahai Rasyid! Bagaimana kesabaranmu ketika anak angkat bani Umayah (Ibnu Ziyad) akan memanggilmu, lalu memotong kedua tangan dan kakimu serta lidahmu?’ Aku menjawab: ‘Apakah surga akan menjadi bagianku …?’ Beliau menjawab, ‘Wahai Rasyid! Engkau selalu bersamaku di dunia dan di akherat.’

Qanwa berkata, ‘Demi Allah, suatu hari Ibnu Ziyad memanggil ayahku. Lalu ia menyuruhnya membenci Imam Ali as. Tetapi, ia tidak mematuhinya. Ibnu Ziyad berkata, ‘Bagaimana Ali menceritakan seperti apa engkau akan mati?’ Ayahku menjawab, Kekasihku, Imam Ali, pernah bercerita kepadaku bahwa pada suatu hari engkau akan menyuruhku untuk membencinya, tetapi aku tidak melakukannya. Lalu, engkau akan memotong kedua tangan dan kaki serta lidahku.’ Ibnu Ziyad berkata, ‘Aku bersumpah akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang telah diperkirakan Ali sebelumnya terhadapmu.’ Maka pada waktu itu juga, ia memerintahkan bawahannya memotong kedua tangan dan kakinya, lalu membiarkan lidahnya.’

Qanwa berkata, ‘Aku menggendong ayahku dan di jalan aku berkata, ‘Wahai ayahku! Apakah engkau merasakan sakit dan siksaan?’ Ia berkata, ‘Tidak. Aku hanya sedikit bersedih dari tekanan masyarakat kepadaku.’ Ketika aku menggendong ayahku keluar dari istana Ibnu Ziyad, orang-orang mengerumuni ayahku. Ayahku memanfaatkan kesempatan itu, lalu berkata, ‘Ambillah pena dan kertas, supaya aku dapat menyampaikan hadis untuk kalian.’ Ketika apa yang sedang dilakukan oleh ayahku diketahui oleh Ibnu Ziyad, ia memerintahkan bawahannya untuk memotong lidah ayahku. Lalu, pada malam harinya ayahku menjemput kesyahidan.”[18]

Sumber Rujukan:

[1]   Musnad Ahmad, jil. 2, hal. 76; Firdausul Akhbar, jil. 5, hal. 424; Majma’uz Zawaid, jil. 7, hal. 15.

[2]   Ibnu Hammad, Fitan, hal. 151.

[3]   Firdausul Akhbar, jil. 5, hal. 515; Kanzul Ummal, jil. 14, hal. 338; At Tashrih, hal. 254.

[4]   Ayashi, Tafsir, jil. 1, hal. 65; Nu’mani, Ghaibah, hal. 279.

[5]   Dalailul Imamah, hal. 259; Itsbatul Hudat, jil. 3, hal. 75.

[6]   Bayanul A’imah, jil. 3, hal. 338.

[7]   Rayahin As Syari’ah, jil. 5, hal. 153; Khasais Fathimiyah, hal. 343.

[8]   Minhajud Dumu’, hal. 93.

[9]   Tarikh Thabari, jil. 2, hal. 7; Halabi, Sirah, jil. 1, hal. 59.

[10]  Abdur Razzaq, Mushannif, jil. 4, hal. 309; Al Ishabah, jil. 4, hal. 432.

[11]  Tanqihul Maqam, jil. 3, hal. 70.

[12]  Ibid, hal. 78.

[13]  Usud Ghabah, jil. 5, hal. 481.

[14]  Mu’jamu Riijal Al-Hadis, jil. 14, hal. 23, 108, dan 176; Rayahinus Syari’ah, jil. 3, hal. 281.

[15] Tanqihul Maqal, jil. 23, hal. 75.

[16]  Kafi, jil. 1, hal. 346; Tanqihul Maqal, jil. 3, hal. 75 (cetakan lama).

[17]  A’yanus Syi’ah, 32, hal. 6.

[18]  Ikhtiyar Ma’rifat Rijal, hal. 75; Syarhu Hal RasyidTanqihul Maqal, jil. 1, hal. 431 dan jil. 3, hal. 82;   Mu’jam Rijalul Hadis, jil. 7, hal. 190; A’yanus Syi’ah, jil. 32, hal. 6; Safinatul Bihar, jil. 2, hal. 522; Rayahinus Syari’ah, jil. 5, hal. 40.

No comments:

Post a Comment